Advertisment

Rabu, 02 Juni 2010

16 Orang di Kapal Mavi Marmara Syahid


Korban tewas akibat serangan Israel terhadap kapal kemanusiaan Mavi Marmara terus bertambah. IHH (Insani Yardim Fakvi), lembaga kemanusiaan Turki yang menjadi koordinator kapal bantuan, melaporkan sudah 16 korban yang syahid.

“Menurut IHH, 16 orang dilaporkan telah terbunuh,” demikian kata Direktur Operasional Sahabat Al Aqsha, Amirul Iman, Senin (31/5/2010). Data yang sama juga dipublikasikan Al Jazeera.

Menurut Amirul, sementara jumlah korban luka juga masih menunggu data terbaru. Data terakhir 50 orang luka-luka akibat serbuan Israel terhadap rombongan Armada Kebebasan (Freedom Flotilla).

“Dan sampai sekarang kami masih belum bisa menelepon satu pun dari 12 WNI yang ikut dalam rombongan,” jelasnya.

12 WNI yang berada di kapal Mavi Marmara terdiri dari wakil tiga lembaga swadaya masyarakat KISPA, MER-C (Medical Emergency Rescue Committee), dan Sahabat Al-Aqsa. Dari 12 orang itu, juga ada lima wartawan, yaitu Aljazeera Indonesia, TV One, Hidayatullah.com, Majalah Alia, dan Sahabat Al Aqsha.

Amirul meminta masyarakat Indonesia bersama-sama mendoakan keselamatan mereka. “Kita di sini usai salat Dzuhur membaca qunut nazilah dan salat gaib untuk mereka yang meninggal,” kata Amirul.

Serangan terhadap kapal kemanusiaan ‘Mavi Marmara’ oleh Israel diyakini akan menyulut protes internasional. Sebabnya, banyak perwakilan organisasi dari puluhan negara bergabung dalam misi bantuan untuk Palestina itu.
“Kita terkejut untuk sebuah aksi damai yang melibatkan 40 negara lebih, diserang oleh Israel. Bahkan itu masih dalam perairan internasional. Ini bisa mendorong timbulnya tuntutan dunia internasional,” ujar anggota Komisi I DPR FPKS, Al Muzammil Yusuf kepada detikcom, Senin (31/5/2010).

Menurut Muzzamil, tidak hanya Israel yang akan mendapatkan tekanan. Namun Amerika Serikat, yang selama ini membela Israel juga akan mendapat tekanan dari seluruh dunia.

“Ini akan menjadi tekanan serius kepada Amerika yang selama ini mendukung Israel. Saya kira akan menjadi isu internasional,” terang politisi asal Lampung ini.

Muzammil mengatakan, DPR akan terus mengikuti perkembangan yang terjadi, dan dalam waktu dekat akan berkoordinasi dengan Deplu terkait nasib WNI yang ada dalam kapal tersebut. Muzammil menambahkan, peristiwa ini tidak akan menyurutkan DPR untuk terus menggalang bantuan untuk rakyat Palestina.

“Akhir Juni kita akan bertemu Parlemen Mesir untuk membicarakan terkait bantauan untuk Palestina,” tegasnya.

Selasa, 01 Juni 2010

Israel Serang Kapal Kemanusiaan

Korban tewas terus bertambah dalam penyerangan kapal Mavi Marmara dan 5 kapal lain dalam Armada Kebebasan (Freedom Flotilla) yang dilakukan pasukan Israel.

Hingga kini sebanyak 10 orang diyakini telah syahid dalam penyerangan terhadap konvoi enam kapal kemanusiaan di perairan Gaza tersebut.

Demikian menurut organisasi Free Gaza Movement, seperti diberitakan Al Jazeera, Senin (31/5/2010). Free Gaza Movement merupakan kelompok yang mengorganisir keberangkatan armada Freedom Flotilla ini.

Menurut kelompok tersebut, enam kapal yang ikut dalam konvoi kemanusiaan ini saat ini sedang diderek menuju Kota Haifa, Israel dan bukan menuju Kota Ashdod guna menghindari para jurnalis yang telah menanti.

Kapal Mavi Marmara dan 5 kapal lain dalam Armada Kebebasan (Freedom Flotilla) diserang tentara Israel. Kapal tersebut dibawa Israel ke suatu tempat dan nasib 12 WNI di kapal tersebut belum diketahui.

“Kapalnya sekarang dibawa Israel ke tempat yang belum kita ketahui. 12 WNI di kapal itu juga belum ada yang bisa kita telepon,” kata Direktur Operasional Sahabat Al Aqsha, Amirul Iman, Senin (31/5/2010).

Menurut Amirul, seluruh WNI berada di kapal Mavi Marmara. Kapal ini membawa 700 aktivis dari sekitar 50 negara. Armada Kebebasan juga terdiri dari 3 kapal barang dan 2 kapal penumpang kecil.

“Kapal-kapal yang lain juga tidak jelas nasibnya,” katanya.

Sementara itu situs-situs yang memberitakan penyerbuan di lepas pantai Gaza tidak bisa diakses. Sahabat Al Aqsha berkomunikasi dengan IHH (Insani Yardim Fakvi), lembaga kemanusiaan Turki yang menjadi koordinator tim bantuan itu, hanya lewat Twitter dan Facebook IHH.

“Komunikasi kita tinggal lewat Twitter dan Facebook IHH. Karena kita juga tidak bisa menelepon teman-teman kita,” ujar Amirul.

Ada 12 WNI di Mavi Marmara. Mereka terdiri dari wakil tiga lembaga swadaya masyarakat KISPA, MER-C (Medical Emergency Rescue Committee), dan Sahabat Al-Aqsa. Dari 12 orang itu, juga ada lima wartawan, yaitu Aljazeera Indonesia, TV One, Hidayatullah.com, Majalah Alia, dan Sahabat Al Aqsha.

Sementara itu, DPR mengecam serangan Israel tersebut dan meminta PBB turun tangan. Anggota Komisi I DPR Almuzammil Yusuf meminta pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan dengan meminta PBB bersikap atas kasus ini.

“Pemerintah kita harus menekan PBB untuk memaksa Israel melakukan diplomasi dengan Palestina dan menempuh jalur perdamaian. Karena tidak ada lagi yang bisa menghentikan Israel kecuali Amerika,” kata Muzammil kepada detikcom, Senin (31/5/2010).

Menurut politisi PKS ini, pertemuan SBY dengan Presidan AS Barrack Obama harus dimanfaatkan juga untuk membahas masalah konflik Israel-Palestina. Apalagi beberapa waktu lalu SBY sudah bertemu dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas.

“Pemerintah Indonesia harus menyampaikan semangat perdamaian untuk Palestina langsung ke PBB dan Presiden AS. Pertemuan dengan Obama dalam waktu dekat harus dimanfaatkan pemerintah Indoensia untuk mendesak AS menengahi konflik Israel dan Palestina,” pintanya.

Anggota Komisi I DPR ini menilai penembakan kapal misi kemanusiaan sudah sangat melanggar HAM. Karena itu semua kekuatan negara Islam harus bersatu menghadapi Israel dengan berbagai cara dan daya yang dimiliki.

“Israel sudah terlalu sering melakukan kejahatan kemanusiaan. Jangankan kapal misi kemanusiaan, rumah sakit dan sekolah saja mereka bom. Kejahatan Israel terus-terusan sekalipun ganti Perdana Menteri. Negara Arab seharusnya bisa memaksa Israel,” jelasnya.

Bukan Taliban, Bukan Erdogan Tapi HAMAS


Tesis Prof. Yazid Shayi’ berjudul “Tiga Tahun Pemerintahan Hamas di Jalur Gaza” yang diterbitkan oleh Pusat “Karawan” Studi Timur Tengah di Universitas Brandez yang kemudian diterjemahkan oleh Pusat Studi Zaitun menegaskan bahwa elit-elit Hamas menampik niatnya menerapkan proyek Islam di Jalur Gaza secara paksa. Elit Hamas menegaskan, bahwa contoh pemerintahan yang dicitakan Hamas adalah Turki yakni pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan bukan contoh Pemerintahan Taliban. “Erdogan, Bukan Taliban.” Simpul elit Hamas itu. Bahkan Prof. Yazid Shayi’ menambahkan saat mamaparkan politik komperhensif dalam memerintah Jalur Gaza dengan sub judul “Erdogan atau Taliban”.

Meski tidak menyebutkan pasti kutipan elit Hamas yang mana, namun Prof. Shayi’ menyebutkan Dr. Ahmad Yusuf dan Dr. Ghazi Hamd sebagai pendukung orientasi ini. Namun penulis tidak pernah mendengar atau menulis kutipan di atas berasal dari Dr. Ghazi. Penulis hanya pernah membaca tulisan Dr. Ahmad Yusuf di Koran Al-Quds soal kedekatan platform politik Hamas dengan platform Erdogan. Bahkan Hamas mengungkap kekagumannya dan ingin mengkloningnya di Palestina. Penulis juga pernah mendengar Dr. Ahmad Yusuf menyatakan dalam seminar yang digelar Hamas di Rafah bahwa Hamas sering menyatakan kepada dunia internasional bahwa dirinya satu jalan dengan PM Turki Receb Taeb Erdogan dan bukan jalan yang ditempuh gerakan Taliban. Meski penulis tidak mendengar langsung dari Dr, Ahmad Yusuf, maka belum bisa dipastikan bahwa maksudnya ingin membatas contoh pilihan Hamas; Taliban atau Erdogan, tidak ada yang ketiga. Barangkali beliau hanya ingin menegaskan keluwesan dan fleksibelitas Hamas. Ini dilakukan Hamas untuk menjelaskan kepada barat yang sebagiannya tidak bisa memahami Hamas. Di tambah lagi kampanye media Arab, Israel, barat dan otoritas Fatah bahwa Hamas ingin mendirikan pemerintahan “kegelapan” di Jalur Gaza.

Ada kesalahan teoritis dan sistematis dalam pendekatan ini hitam putih saja dalam kasus Islam. Seakan hanya ada dua contoh yang kontradiksi sama sekali, tak ada tengah-tengahnya. Cara pandang seperti ini tidak bisa diterima. Apalagi dalam dunia politik dan pemikiran yang luwes. Jika tidak Erdogan apakah harus selalu Taliban, atau sebaliknya. Siapa yang mau menerima logika seperti ini dan menjadikan sesuatu yang dijadikan Allah luas dan luwes menjadi sempit. Apakah benar Hamas, kalau tidak Taliban berarti Erdogan.

Padahal kasus Islam pada dasarnya lebih kaya dan berfariasi dalam bidang pemikiran dan platform politiknya yang bisa melampaui dua contoh di atas. Kenapa misalnya tidak kita anggap eksperimen pemerintah Sudan. Padahal elit Partai Keadilan Turki pun menampik karakter Islam dari partainya dengan makna di atas, bahkan menegaskan partainya sekuler.

Di level realitas, eksperimen Taliban dan Erdogan menunjukkan bahwa kedunya membangun sistemnya di atas miluinya yang khusus setelah mereka melakukan kajian kritis dan menentukan pilihannya bahwa mereka harus memulainya dari miliu itu. Keyakinan fiqih dan persepsi pemikiran Taliban tidak mengakar di miliu Afganistan atau miliu benua kecil Hindia secara umum. Fiqih Taliban adalah fiqih madrasah Dibandiyah Hanafi yang tersebar di benua kecil Hindia yang diterapkan secara strike. Secara fundamental Taliban berbeda dengan para sekutunya dari kelompok jihadiyyin Arab yang menolak – karena akidah salafiyahnya – pemikiran akidah Maturidiyah Taliban dan sikapnya menyuburkan tasawuf yang tersebar di Afganistan secara umum.

Di level politik, Taliban bertentangan dengan sekutunya dari kalangan Jihadiyyin Arab ketika (Taliban) menggelar hubungan diplomasi di awal-awal pemerintahannya dengan Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Pakistan. Sikap Taliban ini bertentangan dengan prinsip Al-Qaidah yang lebih dikenal sebagai Salafi Jihadi yang menilai negara-negara itu sebagai thagut. Taliban sendiri di PBB mengakui negara-negara itu dimana Al-Qaidah menganggap PBB juga thagut. Taliban juga memiliki Menlu dan dubes serta diplomat yang berusaha membuka akses dengan pihak yang dianggap Al-Qaidah sebagai rel thagut dan kafir. Taliban juga mengakui penjajahan Amerika. Setelah itu Taliban hanya membatasi jihadnya di Afganistan. Ini berbeda dengan Al-Qaidah dan Taliban (cabang) Pakistan.

Jadi, Taliban membangun miliunya dan bukan produk pemikiran luar yang diterapkan di masyarakat Afganistan. Ia tidak bisa dikritisi sama sekali dengan melupakan landasan penting ini. Pandangan ini bisa diterapkan kepada eksperiman Erdogan yang berusaha merangkum semua pengalaman Islam Turki di masa lalu dalam konflik panasnya dengan system sekuler unik yang sangat keras, berpengaruh. Masyarakat Turki sangat kebarat-baratan. Hubungan mereka dengan agama bisa dibilang hanya sebatas simbolis formal dari memandikan mayit, menguburkannya sesuai dengan Islam, membaca Al-Fatihah di kuburannya. Sementara hubungan mereka dengan masyarakat Eropa yang Kristen begitu kental. Sebuah kasus yang tidak ada sama sekali di dunia Arab. Meski kebanyakan masyarakat Arab yang terpengaruh dengan westernisasi, sikap beragama masih begitu kental di segala bidang. Bahkan di negara Arab yang bebas sekalipun, namun mereka masih menjaga batasan-batasan Allah dan syiar ibadahnya.

Namun di level politik resmi pemerintahan, hampir tidak ditemukan konstitusi Arab yang mengundangkan Islam sebagai sumber asasi hukumnya. Para pemimpin di negara yang menunjukan gaya hidup barat dan sikap politiknya yang menjauhi gerakan Islam dan loyal kepada barat, kita temukan mereka tetap berusaha menunjukkan Islam dengan cara lain. Pemimpin di Maroko disebut Amirul Mukmimin dan menjaga ajaran-ajaran Hasan. Pemimpin di Libia memimpin shalat dalam beberapa kesempatan dan berkhutbah dan memiliki pendapat entan tentang Islam dan fiqih. Pemimpin Saudi adalah Pelayan Dua Kota Suci. Pemimpin Jordania adalah keturunan keluarga Rasul dan pelayan Masjid Al-Aqsa. Di semua negara Arab – termasuk Tunis – para pemimpinnnya berusaha menampakkan Islamnya dan religinya dalam bentuk lahir formil. Ini yang tidak kita temukan di Turki. Ini jika kita dukung anggapan bahwa Erdogan membawa proyek Islam yang berusah memulai kehidupan Islam di Turki dengan metode yang berbeda yang ‘bersembunyi di balik sekularisme dengan alasan menjaga karakter khusus Turki. Namun ini hanya analisis bukan pemastian yang didasarkan kepada emosional, harapan, simpati yang bersumber prasangka baik.

Sekedar seruan mengkloning pengalaman tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan kondisi Turki dalam segala bidangnya dan kondisi masyarakat Arab secara umum, termasuk Palestina, maka itu hanya seruan lugu yang kehilangan jatidiri dan ideology. Seakan anak muda yang silau dengan eksperimen Partai Keadilan dan Pembangunan (eksperimen Erdogan). Padahal Erdogan sendiri memiliki banyak kritikan terhadap sebagian politik Hamas.

Siapa yang lebih layak dijadikan contoh untuk dilakukan studi dan ditiru dalam eksperimen pemerintahan? Padahal kedunya belum pernah mengetahui contoh di luar wilayah mereka. Berbeda dengan Hamas yang terkenal dengan perlawanannya terhadap penjajah Israel. Bahkan kini ia memiliki pengalaman khusus dalam memerintah dalam situasi yang khas sekali dan berbeda dengan situasi di Afganisten yang diperintah Taliban pada saat penjajah asing sudah hengkang. Pada saat itu ia hanya terlibat dalam konflik internal. Sementara Turki sendiri adalah negara besar dan merdeka. Hamas sekarang ini memiliki eksperimen di pemerintahan secara khusus dan unik. Sebab ia berada dalam penjajahan dan pemerintahannya bukan aspirasi negara namun pemerintahan warga yang terblokade. Sementara Otoritas Palestina yang dipimpin Abbas dan Fayyad berada langsung di bawah penjajah Israel. Hamas adalah gerakan yang menjadi penguasa, dikuasai dan pada saat yang sama melakukan perlawanan terhadap penjajah. Ini contoh yang belum ada sebelumnya.

Jika Taliban membangun miliunya, jika Partai Keadilan dan Pembangunan membangun miliu politik dan social Turkinya, maka Hamas juga memilih jalur khusus dalam dakwah dan pemikiran serta jihadnya. Dalam hal ini Hamas menjadi contoh khusus dalam tanggungjawab kekuasaan, pemerintahan public rakyat yang sesuai dengan kondisi, realitas dan watak bangsanya serta nilai-nilai yang berlaku di sana. Apalagi Hamas juga memiliki visi dan misi dasarnya. Dari sini maka kita memiliki contoh lain; Hamas selain Taliban dan Erdogan. Namun hal ini tidak menghalangi Hamas mengambil pelajaran dari eksperimen lainnya bahkan merupakan keharusan. Sebab “hikmah adalah baranghilang seorang mukmin yang ditemukan”. Yang tidak kita terima adalah anggapan adanya kesamaan persis dengan dua contoh sebelumnya, atau anggapan bahwa Hamas mengkloning pengalaman mereka secara penuh.

Erdogan bukan pertama kali – di antara umat Islam – yang menganut gagasan menghargai kehendak, pilihan manusia dan hak-haknya, menerima pluralitas kepartaian, partisipasi politik dan peralihan kekuasaan secara damai. Bahkan ini sudah menjadi prinsip fiqih dan pemikiran serta sikap politik gerakan Islam beberapa tahun lalu di dunia Arab dan Islam sebelum Erdogan. Ketika Hamas menganut gagasan ini, bukan berarti ia adalah klon Palestina dari partai Keadilan dan Pembangunan Turki. Bahkan fleksibelitas Hamas yang didasarkan kepada maqasid syariah dan prinsip-prinsip politik Islam tidak berarti Hamas melewati prinsip dasar yang melatarbelakangi berdirinya gerakan ini. Alasannya, jika Hamas bukan Partai Keadilan dan Pembangunan bukan berarti seperti Taliban.
Dalam konteks ini, penting rasanya memaparkan sejumlah prinsip Hamas yang tidak mungkin dilanggar Hamas sehingga tidak memaksakan diri menyamakan Hamas dengan Erdogan:

1. Tidak dibenarkan sama sekali melakukan konsesi meski hanya sejengkal tanah Palestina dengan cara mengakui eksistensi Israel. Pendakatan politik untuk membebaskan blockade atau permusuhan Israel terhadap Hamas, tidak boleh mengorbankan prinsip ini. Termasuk pengalaman Pemilu dan pemerintahan hingga keputusan menguasai Jalur Gaza secara militer semuanya dilakukan dalam rangka kepentingan perlawanan. Tidak boleh sama sekali pengalaman memerintah kemudian membatalkan perlawanan sebab Hamas lahir dalam rangka menjaga hak perlawanan bangsa Palestina dan hak generasi mendatang di Palestina dan kewajiban mencabut eksistensi Israel dari Palestina.

2. Hak kembali pengungsi Palestina ke tanah air mereka adalah hak nasional dan bukan hak pribadi warga Palestina yang terusir. Hak ini bagian dari hak mengambil semua wilayah Palestina dan penolakan terhadap legaliatas penjajaha Israel. Adapun ganti yang diterima oleh pengungsi Palestina sebagai kompensasi atas tindakan pengusiran, kejahatan yang mereka terima selama bertahun-tahun, bukanlah pengganti hak kembali atau tanah yang dirampas Israel. Anggapan bahwa hak kembali pengungsi Palestina sebagai hak pribadi dan menerima ganti rugi dari pengusiran itu sama halnya dengan jual beli tanah. Itu sama halnya dengan menjual tanah di Tepi Barat untuk yahudi. Barangsiapa yang ingin kembali ke Palestina dan menerima ganti rugi sebagai harga tanahnya dari yahudi maka tanah itu tetap menjadi milik Palestina secara umum.

3. Tindakan dan sikap politik apapun, termasuk gencatan senjata, harus dilakukan dalam lingkup perlawanan melawan penjajah. Artinya, perlawanan tetap dilakukan dan tidak akan hilang. Selama ada penjajahan maka di situ ada perlawanan. Jika ada upaya politik ingin melucuti senjata perlawanan maka itu sudah melanggara prinsip gerakan Hamas.

4. Gerakan Hamas memiliki proyek Islam yang jelas dan terang. Meski Hamas tidak akan memaksakan proyek Islam itu kepada warga namun ia tidak akan berlepas dari identitas Islamnya. Dalam hal ini manusia tidak perlu takut. Ketakutan itu tidak berdasar dan hanya jadi alat politik dari sejumlah kelompok. Sebab bangsa Palestina adalah Muslim dan proyek Hamas paling sesuai dengan akar bangsa Palestina, warisan budayanya daripada proyek lainnya. Hamas tidak akan merampas hak pribadi. Ketika rakyat memilih Hamas sebagai wakilnya, mereka sudah paham bahwa ia beridentitas dan memiliki proyek Islam. Rakyat Palestina sudah paham Hamas sebagai gerakan dakwah sebelum sebagai gerakan jihad dan politik. Ini bukan berarti Hamas menjadi Taliban sebab Hamas tidak memaksa manusia untuk komitmen dengan proyeknya, visi fiqih dan pemikiran Hamas bersifat toleran, fleksibel, riil dan meyakini pluralitas.

5. Meski berproyek Islam namun bukan berarti Hamas berlepas diri nasionalisme dan kearabannya. Sebab tidak ada kontradiksi antara Islam sebagai akidah dan identitas dengan identitas nasionalisme atau kearabannya.